Tuesday, July 31, 2007

kontruktivisme dalam pembelajaran ke depan (1)

Konstruktivisme merupakan cara pandang (filosofist) yang menganjurkan perubahan proses pembelajaran skolastik (baik formal maupun non formal dan informal) melalui pengenalan, penyusunan dan penetapan tangkapan pengetahuan berdasar reaksi (di dalam pikiran) peserta didik. Ilmu pengetahuan tidak boleh dipindahkan kepada peserta didik (transfer knowledge) dalam bentuk yang serba "sempurna"/"jadi" melalui program pengajaran guru (Teacher Centered Learning) . Paradigma baru proses pembelajaran dengan teori konstruktivisme ini menyebabkan Guru kehilangan 2 otoritas pedagogik yang selama ini dipegang teguh untuk dipraktekkan di dalam lembaga pendidikan sekolah. Pertama, Guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar, dan kedua, Guru bukan pula satu-satunya sumber kebenaran ilmiah. Dengan demikian secara otomaticly terjadi perubahan orientasi belajar di sekolah dari Teacher Centered Learning ke Student Centered Learning.
Teori-teori terdahulu yang menyatakan pikiran dan benak seorang anak (Pembelajar) adalah "kertas putih" atau "botol kosong" (tabularasa), yang siap dipenuhi dengan pengetahuan-pengetahuan baru hingga penuh oleh para Guru di sekolah, sekarang sudah saatnya berubah, karena di dalam otak (benak) anak memang sudah berisi kecerdasan yang tidak tunggal akan tetapi kecerdasan jamak (multiple inteligence) dengan tingkatan yang berbeda-beda. Aktivitas sekolah, hanyalah memfasilitasi agar kompetensi dirinya yang terdiri dari aspek kecerdasan pikiran (kognisi), ketrampilan (psikomotorik) dan sikap perilaku (afeksi) dapat berkembang secara optimum sebagai hasil belajar untuk "survive" dalam kehidupan masa depannya.
Konstruktivisme merupakan kata kunci bagi setiap Guru dalam implementasi Kurikulum baru berdasar Standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan BSNP tahun 2006. Masalahnya sekarang adalah, apakah semua Guru-guru kita sebagai "driver" mobil baru nan mewah bak sedan Cadilac Kurikulum Canggih tersebut faham dengan filosofi konstruktivisme?. Jangan-jangan proses pembelajaran yang diterapkan masih seperti dulu-dulu yaitu membebani pembelajar dengan pengetahuan yang tidak berkembang (" dead knowledge") seperti MENGHAFAL dan MENGHAFAL. Whitehead (1929) mengemukakan perlunya perubahan nyata dalam proses pembelajaran yang membebaskan anak untuk mengemukakan ide serta gagasannya di dalam komunitas/kelompok belajarnya. Jangan sampai seorang Guru lebih dominan melakukan "drilling" dengan aktivitas informasi satu jalur dan menjejalkan pengetahuan yang bersifat kaku ( inert ideas ) yang tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah keharian peserta didiknya. Barnes (1976) dan Bransford (1986) dalam penelitiannya tentang "inert ideas"di beberapa sekolah formal, menemui adanya keterasingan peserta didik dari masyarakat serta pikirannya sendiri, karena kebanyakan pengetahuan yang diajarkan di sekolah justru tidak mampu menyelesaikan masalah yang ditemukan langsung di masyarakat. Bransford menambahkan pandangannya bahwa pengetahuan yang diperoleh di sekolah, merupakan pengetahuan yang dipindahkan (transfer knowledge) dari Guru kepada peserta didiknya, dan ternyata pengetahuan tersebut hanya cukup untuk menjawab permasalahan pencapaian target kurikulum serta target Ujian Nasional semata.
Padahal UJIAN BUKANLAH TUJUAN dari sekolah, akan tetapi UJIAN HANYALAH PROSES AKHIR dari suatu jenjang sekolah. Tentu kita berharap, peserta didik kita yang lulus ujian, sekaligus mampu menggunakan hasil belajarnya tersebut untuk menyelesaikan permasahan yang dihadapi. Apabila jawabannya "tidak" maka pastilah ada yang "salah" dalam proses pendidikan sekolah kita!. Dan itu yang terus kita cari serta BENAHI!
Wassalam,
DS

No comments: